Bismillahirrahmanirrahim | Berkata Abdullah ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: "Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun yang baru melainkan mereka pasti akan membuat bid'ah baru dan mematikan sunnah sehingga hiduplah bid'ah dan matilah sunnah." Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al Bida' wan Nahyu 'anha | Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta'ala: "Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat karena maksiat akan ditaubati sedangkan bid'ah tidak akan ditaubati." Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/216) | Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta'ala: "Barangsiapa yang rusak dari kalangan ulama kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ulama Yahudi dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ahli ibadah Nasrani." |

Kamis, 13 Maret 2014

Larangan Melipat Baju dan Mengikat Rambut dalam Shalat

بسم الله الرحمن الرحيم

Salah satu perkara yang dilarang di dalam shalat adalah melipat atau menggulung pakaian (lengan baju) dan mengikat atau menahan rambut. Alasan sebagian orang yang melakukan ini adalah agar lengan baju dan rambut tidak terkena debu ketika sujud. Perbuatan ini adalah terlarang berdasarkan hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

أُمِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ وَلَا يَكُفَّ ثَوْبَهُ وَلَا شَعَرَهُ

“Nabi صلى الله عليه وسلم diperintahkan untuk sujud di atas tujuh tulang (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua kaki) dan untuk tidak menahan pakaian dan rambutnya.” [HR Al Bukhari (815) dan Muslim (490)]

Di dalam hadits yang musnad, juga dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ لَا أَكُفُّ شَعَرًا وَلَا ثَوْبًا

“Saya diperintahkan untuk sujud di atas tujuh (anggota tubuh) dan tidak menahan pakaian dan rambut.” [HR Al Bukhari (816) dan Muslim (490)]

Menahan pakaian di dalam hadits di atas maknanya adalah menggulung atau melipat pakaian, dalam hal ini yang dimaksud adalah lengan baju. Sedangkan yang dimaksud dengan menahan rambut adalah mengikatnya.

Disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ta’ala di dalam Fathul Bari (2/296) bahwa hikmah dari larangan ini adalah jika seseorang menghalangi lengan baju dan rambutnya untuk menyentuh lantai pada saat sujud maka ini seperti sifatnya orang yang angkuh.

Sedangkan Al Hafiz Ibnu Rajab di dalam Fathul Bari (6/53) menambahkan alasan lain bahwa larangan ini diberlakukan karena perbuatan ini membuat shalat tidak khusyuk dan karena rambut dan pakaian juga ikut sujud bersama pemiliknya, berdasarkan riwayat dari beberapa sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم .

Selain itu, disebutkan pula bahwa ikatan rambut pada saat shalat menjadi tempat duduk bagi syaithan. Diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunan-nya nomor 646 dengan sanad yang hasan, bahwa Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu melewati Al Hasan bin Ali yang sedang shalat dan dia mengikat jalinan rambutnya ke tengkuknya. Lantas Abu rafi’ melepaskan ikatan itu sehingga membuat Al Hasan marah. Kemudian Abu Rafi’ menjelaskan:

اقبل على صلاتك ولا تغضب، فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ذلك كفل الشيطان

“Lanjutkanlah shalatmu dan jangan engkau marah. Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata: “(Tempat ikatan rambut ) itu adalah tempat duduk syaithan.”

Pengingkaran terhadap hal ini juga diriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab, Utsman bin Affan, Hudzaifah ibnul Yaman, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhum.

Ulama berselisih mengenai larangan di dalam hadits di atas dalam hal apakah larangan di atas bersifat makruh ataukah haram. Jumhur ulama mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh.

Mereka juga berselisih apakah larangan di dalam hadits di atas berlaku di dalam shalat saja ataukah berlaku sejak sebelum shalat. Malik, Ad Daudi, dan Ibnu Jarir mendukung pendapat pertama, dan ini juga merupakan zhahir dari pendapat Imam Al Bukhari. Sedangkan jumhur ulama mendukung pendapat kedua, di antaranya adalah Umar ibnul Khaththab, Utsman bin Affan, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abu Rafi’, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’d, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Qadhi ‘Iyadh, dan lain-lain.

Akan tetapi, ulama bersepakat bahwa barangsiapa yang melakukan hal ini di dalam shalatnya maka shalatnya tidaklah batal sehingga tidak perlu diulangi kembali. Ijma’ dinukilkan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab di Fathul Bari (6/52)

وبالله التوفيق


Jumlah tampilan:



Anda memiliki tugas menerjemahkan artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya? Kunjungi TransRisalah : Jasa Pengetikan dan Terjemah Bahasa Arab-Indonesia !