Bismillahirrahmanirrahim | Berkata Abdullah ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: "Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun yang baru melainkan mereka pasti akan membuat bid'ah baru dan mematikan sunnah sehingga hiduplah bid'ah dan matilah sunnah." Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al Bida' wan Nahyu 'anha | Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta'ala: "Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat karena maksiat akan ditaubati sedangkan bid'ah tidak akan ditaubati." Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/216) | Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta'ala: "Barangsiapa yang rusak dari kalangan ulama kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ulama Yahudi dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ahli ibadah Nasrani." |

Sabtu, 05 Januari 2013

Hukum Mengqadha Shalat bagi Orang yang Meninggalkannya dengan Sengaja

بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan:

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Maaf, saya mau bertanya, Ustadz.  Apakah benar ada dalilnya tentang mengqadha shalat? Misalnya kita terlambat melaksanakan shalat Subuh atau tidak rutin dalam melaksanakannya. Bagaimana cara mengqadhanya karena saya belum pernah mendapatkan haditsnya. Wassalamu’alaikum.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu wamaghfiratuh.

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah hukum mengqadha shalat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja. Mereka terbagi kepada dua golongan:

Golongan Pertama:

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa barangsiapa yang menunda shalat sampai keluar dari waktunya maka dia berdosa besar dan wajib untuk menggantinya di luar waktu shalat tersebut berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى

“Hutangnya Allah lebih berhak untuk diselesaikan.” [HR Al Bukhari (1953) dan Muslim (1148)]

Dalil lainnya adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barangsiapa yang lupa melaksanakan shalat atau tertidur darinya, maka dendanya adalah dia melaksanakan shalat tersebut ketika dia mengingatnya.” [HR Al Bukhari (597) dan Muslim (684)]

Mereka mengatakan bahwa apabila orang yang tertidur dan lupa saja wajib atas mereka untuk mengganti shalatnya padahal mereka adalah orang-orang yang telah mendapatkan uzur dari Allah, maka orang yang meninggalkannya dengan sengaja tentunya lebih wajib lagi atasnya untuk mengganti shalatnya karena dia tidak mendapatkan uzur.

Golongan Kedua:

Ibnu Hazm di dalam kitab Al Muhalla menukil pendapat sebagian sahabat dan tabi’in mengatakan bahwa qadha shalat bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat itu tidaklah ada karena Allah ta’ala telah menetapkan batas waktu tertentu untuk shalat. Selain itu, pengqadhaan shalat itu termasuk ke dalam perkara syariat. Syariat itu hanya boleh ditetapkan oleh Allah ta’ala melalui lisan Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم . Pada kenyataannya tidak ada dalil shahih yang dengan jelas menetapkan hukum qadha shalat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja. Sekali lagi kami ulangi: dengan sengaja.

Di antara dalil tidak adanya syariat mengqadha shalat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja adalah hadits Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

الَّذِي تَفُوتُهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ كَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ

“Barangsiapa yang luput darinya shalat Ashar, maka seolah-olah dia telah kehilangan keluarga dan hartanya.” [HR Al Bukhari (552) dan Muslim (626)]

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat Ashar dengan sengaja maka tidak ada jalan untuk mendapatkannya kembali. Kalau seandainya dia bisa mendapatkannya kembali dengan menggantinya, maka tidaklah ada bedanya dia dengan orang yang meninggalkan shalat karena uzur yang diperbolehkan.

Dalil lainnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ

“Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka dia telah mendapatkan shalat Shubuh. Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar.” [HR Al Bukhari (579) dan Muslim (608)]

Di dalam riwayat Al Bukhari yang lainnya ada tambahan:

فَلْيُتِمَّ صَلَاتَهُ

“Maka sempurnakanlah shalatnya.”

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata di dalam kitabnya “Silsilatul Ahaditsi Ash Shahihah” (1/100): “Makna sabda Nabi صلى الله عليه وسلم “Maka sempurnakanlah shalatnya.” adalah karena dia telah sempat melaksanakannya di waktunya sehingga terlepaslah kewajibannya. Orang yang tidak sempat mendapatkan satu rakaat (sebelum waktunya habis) maka dia tidak boleh menyempurnakannya karena itu tidak boleh disebabkan waktunya telah lewat, sehingga kewajibannya belum lagi terlepas.” Sampai kepada perkataan beliau: “Apabila orang yang tidak sempat mendapatkan satu rakaat tidak diperintahkan untuk menyempurnakan shalat, maka tentunya terlebih lagi bagi orang yang sama sekali tidak mendapatkan waktu shalat (karena meninggalkannya dengan sengaja).”

Syekh Al Albani memberikan bantahan terhadap dalil pertama dari golongan pertama yang mengqiyaskan antara orang yang meninggalkan shalat secara sengaja dengan orang yang meninggalkan shalat karena lupa atau tertidur dengan mengatakan: “Ini adalah qiyas yang salah, bahkan barangkali ia merupakan qiyas paling rusak yang pernah ada di permukaan bumi, karena ia merupakan qiyas sesuatu dengan lawannya. Qiyas seperti ini jelas-jelas kerusakannya karena bagaimana mungkin mengqiyaskan antara orang yang mendapatkan uzur dengan orang yang tidak mendapatkan uzur, antara orang yang sengaja meninggalkan dengan orang yang lupa, dan antara orang yang tidak mendapatkan kafarah (denda) dari Allah dengan orang yang mendapatkan kafarah dari Allah?!”

Kemudian beliau menukilkan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah yang sangat penting dalam hal ini. Silakan melihat kitab “Silsilatul Ahaditsi Ash Shahihah” (1/100).

Adapun bantahan terhadap dalil mereka yang memakai hadits “Hutangnya Allah lebih berhak untuk diselesaikan.” adalah bahwa pendalilan dengan hadits ini tidaklah tepat karena ibadah yang dituntut untuk ditunaikan itu haruslah dilakukan pada waktu yang telah ditetapkan oleh Allah. Apabila dilakukan di luar waktu yang telah ditetapkan, maka dia tidak dituntut lagi dan dianggap telah melakukan penyepelean dan berdosa besar .

Demikianlah pendapat dari kedua golongan ulama tentang permasalahan mengqadha shalat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja. Wallahu a’lam bish shawab.

والحمد لله رب العالمين

Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Syarh Bulughul Maram karya Syekh Muhammad bin Hizam Al Ba’dani hafizhahullah ta’ala.

------------------------------

Demikianlah pendapat dari kedua golongan ulama tentang permasalahan mengqadha shalat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja. Adapun pendapat yang kami pilih adalah pendapat yang kedua. Terhadap orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka yang harus dia lakukan adalah segera bertaubat dan meminta ampun kepada Allah atas penyepeleannya terhadap perintah Allah yang sangat penting ini. Dia juga sangat dianjurkan untuk memperbanyak melakukan shalat-shalat sunat demi menutupi berbagai kekurangan yang terjadi pada shalat fardhu. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة قال يقول ربنا عزوجل لملائكته وهو أعلم - انظروا في صلاة عبدي أتمها أم نقصها فإن كانت تامة كتبت له تامة وإن كان انتقص منها شيئا قال انظروا هل لعبدي من تطوع ؟ فإن كان له تطوع قال أتموا لعبدي فريضته من تطوعه ثم تؤخذ الأعمال على ذاكم

“Sesungguhnya amalan manusia yang paling pertama kali diperiksa pada hari kiamat adalah shalat. Rabb kita ‘azza wa jalla berkata kepada malaikat-Nya -dan Dia lebih mengetahui- : “Lihatlah kepada shalat hamba-Ku ini, apakah dia menyempurnakannya ataukah ada kekurangannya.” Kalau shalatnya sempurna, dituliskan baginya pahala yang sempurna. Kalau ada kekurangan, maka Allah akan berkata: “Coba periksa apakah hamba-Ku pernah melaksanakan shalat sunat? Kalau dia ada melaksanakan shalat sunat, maka sempurnakanlah pahala shalat fardhunya dari pahala shalat sunatnya. Begitu pula seluruh amalan yang fardhu akan dinilai dengan cara demikian.” [HR Abu Daud (864) dari Abu Hurairah. Hadits shahih.]

Wallahu a’lam bish shawab.

والحمد لله رب العالمين

Jumlah tampilan:



Anda memiliki tugas menerjemahkan artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya? Kunjungi TransRisalah : Jasa Pengetikan dan Terjemah Bahasa Arab-Indonesia !