Bismillahirrahmanirrahim | Berkata Abdullah ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: "Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun yang baru melainkan mereka pasti akan membuat bid'ah baru dan mematikan sunnah sehingga hiduplah bid'ah dan matilah sunnah." Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al Bida' wan Nahyu 'anha | Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta'ala: "Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat karena maksiat akan ditaubati sedangkan bid'ah tidak akan ditaubati." Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/216) | Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta'ala: "Barangsiapa yang rusak dari kalangan ulama kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ulama Yahudi dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ahli ibadah Nasrani." |

Senin, 09 Juni 2014

Seputar Masalah Pemaksaan terhadap Keimanan

بسم الله الرحمن الرحيم

Salah satu kaidah penting yang berkaitan dengan akidah dan keimananan di dalam Islam adalah barangsiapa yang dipaksa untuk melakukan perbuatan atau mengucapkan kalimat kekufuran maka dia tidaklah menjadi kafir sepanjang hatinya tetap beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan mengingkari kekufuran yang dipaksakan kepadanya itu.

Hal ini sangatlah penting untuk diketahui karena ada sebagian pihak yang menganggap bahwa orang yang melakukan kekufuran meskipun secara terpaksa maka dia dihukumi sebagai seorang kafir yang telah keluar dari agama Islam (murtad). Pendapat ini terbantah dengan dengan banyaknya dalil yang menerangkan bahwa dia tidaklah menjadi kafir sepanjang hatinya tetap beriman kepada Allah ta’ala dan mengingkari kekufuran yang dipaksakan kepadanya itu.

Di antara dalil yang menerangkan tentang masalah ini adalah firman Allah ta’ala di dalam surat An Nahl ayat 106:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (maka dia mendapatkan kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa (untuk berbuat kekufuran) sedangkan hatinya tetap tenang dengan keimanan (maka dia tidaklah kafir). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpa mereka dan bagi mereka azab yang besar.”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsir ayat ini: “Adapun firman-Nya: {إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ = kecuali orang yang dipaksa (untuk berbuat kekufuran) sedangkan hatinya tetap tenang dengan keimanan (maka dia tidaklah kafir)} ini adalah pengecualian bagi orang yang melakukan kekufuran dengan lisannya dan mencocoki (keyakinan) kaum musyrikin dengan ucapannya secara terpaksa karena dia telah mendapatkan pukulan atau gangguan, akan tetapi hatinya mengingkari apa yang telah dia ucapkan dan dia tetap tenang beriman kepada Allah dan rasul-Nya.”

Dalil lainnya adalah firman Allah ta’ala di dalam Alu ‘Imran ayat 28:

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin, penolong, sahabat) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari Allah (telah menjadi kafir) kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Allah memperingatkan kalian terhadap diri (siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat kembali (kalian).”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Firman-Nya { إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةًkecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka}, yaitu kecuali orang yang di sebagian negeri atau waktu takut terhadap kejahatan mereka (kaum kafir) maka boleh bagi dia untuk menjaga diri dari mereka secara zhahir, bukan secara batin dan niatnya.”

Dalil lainnya adalah firman Allah ta’ala tentang keadaan sebagian kaum muslimin yang terjebak di negeri kaum kafir sehingga tidak bisa berhijrah darinya dan terpaksa menampakkan keridhaan terhadap kekufuran mereka:

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا

“Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan (menyelamatkan) orang-orang yang lemah dari kalangan laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang berdoa: “Wahai Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zhalim penduduknya, dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!” [QS An Nisa`: 75]

Pada asalnya kaum muslimin diperintahkan untuk berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam. Barangsiapa yang tidak mau hijrah maka mereka mendapatkan ancaman hukuman siksaan neraka Jahannam, sebagaimana tersebut di dalam ayat ke-97 dari surat An Nisa` (silakan melihat pembahasannya di sini). Namun ancaman siksaan ini dikecualikan bagi orang-orang yang tidak mampu untuk berhijrah ke negeri Islam dan terpaksa menampakkan persetujuan terhadap kekufuran yang dilakukan oleh para penduduk dari negeri kafir yang mereka tempati.

Imam Al Bukhari rahimahullah berkata di dalam Shahihnya pada Kitabul Ikrah: “Allah memberikan uzur kepada orang-orang lemah yang tidak bisa menghindari dari meninggalkan apa yang Allah perintahkan.”

FAIDAH:

1. Sebagian ulama, di antara Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, berpendapat bahwa bolehnya seseorang untuk menampakkan kekufuran (taqiyyah) jika pemaksaan itu berupa paksaan untuk mengucapkan perkataan kufur saja, dan tidak berlaku untuk pemaksaan yang berupa perbuatan kufur. Artinya, jika dia dipaksa untuk melakukan perbuatan kufur, maka dia dihukumi kafir.

Pendapat ini telah dibantah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitab Al Qaulul Mufid (1/228): “Dan yang benar pula adalah bahwasanya tidak perbedaan antara ucapan orang yang dipaksa dengan perbuatan (orang yang dipaksa), meskipun ada sebagian ulama yang membedakan (antara keduanya) dan mengatakan: ‘Apabila dipaksa pada ucapan maka dia tidak kafir, dan bila dipaksa pada perbuatan maka kafir.’” Syaikh rahimahullah berdalil dengan keumuman ayat 106 dari surat An Nahl.

2.Penerapan masalah ini, juga berlaku dalam bidang selain keimanan, seperti fiqih. Contohnya adalah dalam masalah perceraian. Para ulama fiqih mengatakan bahwa jika ada seseorang yang dipaksa untuk menceraikan istrinya dan telah mendapatkan ancaman serta gangguan atas hal tersebut, lalu dia menceraikan istrinya dalam keadaan terpaksa dan tidak berniat menceraikan istrinya sama sekali, maka talak yang dia lakukan dianggap tidak ada. Berbeda halnya jika dia melakukannya secara sukarela dan diiringi niat untuk menceraikan.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amalan itu tergantung kepada niat, dan setiap orang mendapatkan (ganjaran) sesuai dengan apa yang dia niatkan.” [HR Al Bukhari (1) dan Muslim (1907)]

والحمد لله رب العالمين

Jumlah tampilan:



Anda memiliki tugas menerjemahkan artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya? Kunjungi TransRisalah : Jasa Pengetikan dan Terjemah Bahasa Arab-Indonesia !