Bismillahirrahmanirrahim | Berkata Abdullah ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: "Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun yang baru melainkan mereka pasti akan membuat bid'ah baru dan mematikan sunnah sehingga hiduplah bid'ah dan matilah sunnah." Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al Bida' wan Nahyu 'anha | Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta'ala: "Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat karena maksiat akan ditaubati sedangkan bid'ah tidak akan ditaubati." Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/216) | Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta'ala: "Barangsiapa yang rusak dari kalangan ulama kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ulama Yahudi dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ahli ibadah Nasrani." |

Sabtu, 21 September 2013

Tata Cara Tayammum

بسم الله الرحمن الرحيم

Salah satu cara mensucikan diri dari hadats adalah dengan melakukan tayammum. Tayammum adalah pengganti wudhuk. Ia baru boleh dilakukan apabila seseorang tidak memiliki air untuk berwudhuk, ataupun jika dia tidak mampu menggunakan air untuk berwudhuk.

TAYAMMUM HARUS DENGAN TANAH

Ketahuilah, tayammum itu hanya boleh dilakukan dengan menggunakan tanah ataupun debu yang dapat membekas di telapak tangan jika ditempelkan. Jadi, tidak boleh menempelkan tangan pada benda-benda yang tidak mengandung tanah, begitu pula tidak boleh menempelkan tangan pada debu yang tidak membekas di telapak tangan ketika ditempelkan karena terlalu sedikit jumlahnya.

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

“… lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang suci, sapulah muka dan tangan kalian dengan tanah itu. “ [QS Al Maidah: 6]

Kata صَعِيدًا artinya secara umum adalah segala sesuatu yang ada di atas permukaan bumi. Namun yang diinginkan di sini adalah makna yang khusus, yaitu tanah, berdasarkan hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

وَجُعِلَتْ لَنَا الأَرْضُ كُلّهَا مَسْجِداً وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُوراً إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءِ

“Dijadikan bagi kita (oleh Allah) bumi itu sebagai tempat sujud, dan dijadikan bagi kita tanah itu sebagai sesuatu yang suci lagi menyucikan jika kita tidak mendapatkan air.” [HR Muslim (522)]

Kemudian, kata مِنْهُ pada ayat di atas menunjukkan bahwa tidak boleh bertayammum dengan menggunakan tanah atau debu yang tidak membekas di tangan.

Ini adalah pendapat dari Imam Asy Syaf'i dan Ahmad. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di permukaan bumi, baik tanah ataupun bukan, baik yang berdebu ataupun tidak, semuanya boleh digunakan untuk bertayammum. Akan tetapi pendapat ini tertolak (marjuh) dengan dalil-dalil yang telah kita sampaikan di atas.

TATA CARA TAYAMMUM

Tata cara bertayammum yang benar adalah dengan menempelkan telapak tangan ke tanah sebanyak satu kali, lalu mengusap telapak tangan kiri lalu kanan dan punggung kedua telapak tangan, barulah kemudian mengusap wajah.

Dalilnya adalah hadits ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِنّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ بِيَدَيْكَ هَكَذَا، ثُمّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً، ثُمّ مَسَحَ الشّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ، وَظَاهِرَ كَفّيْهِ، وَوَجْهَهُ

“Sesungguhnya cukup bagimu untuk melakukan dengan tanganmu demikian. Kemudian beliau menempelkan kedua telapak tangannya ke tanah satu kali tepukan, lalu mengusap (telapak tangan) bagian kiri sebelum bagian kanan dan punggung kedua telapak tangan, serta wajahnya.” [HR Al Bukhari (347) dan Muslim (368)]

Di dalam hadits di atas, Nabi صلى الله عليه وسلم mendahulukan mengusap telapak tangan daripada wajah. Urutan ini tidaklah wajib. Seseorang boleh mengusap wajahnya terlebih dahulu sebelum tangan, dan dia juga boleh meniup telapak tangannya untuk mengurangi jumlah tanah yang menempel.

Dalilnya adalah hadits ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhuma pada salah satu riwayat Imam Al Bukhari (nomor 338):

فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ

“Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menempelkan kedua telapak tangannya ke tanah dan meniup keduanya, kemudian mengusapkan kedua tangannya ke wajah dan dua telapak tangannya.”

Cara seperti ini didukung oleh beberapa ahlul ‘ilmu seperti Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Abbas, ‘Atha`, Asy Sya’bi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy Syaukani, dll.

Pertanyaan:

Bagaimanakah dengan pendapat yang mengatakan bahwa tayammum itu adalah dengan cara menempelkan telapak tangan dua kali ke tanah, lalu mengusapkannya ke wajah dan tangan sampai ke siku?

Jawaban:

Meskipun ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, namun pendapat demikian adalah pendapat yang dilandaskan kepada hadits yang lemah, yaitu hadits Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ: ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ، وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ

“Tayammum itu ada dua kali tepukan (ke tanah): satu tepukan untuk (mengusap) wajah dan satu tepukan untuk (mengusap) kedua tangan sampai ke siku.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ad Daraquthni (1/182), dan ia  adalah hadits yang lemah secara marfu’ sebagaimana disebutkan oleh Abu Zur’ah Ar Razi, Ibnu Abdil Barr, Al Hafizh Ibnu Hajar, dan Al Albani rahimahumullah. Hadits ini hanya sampai kepada derajat mauquf sebagaimana disebutkan oleh para ahli hadits, seperti Al Baihaqi, Yahya bin Sa’id Al Qaththan, Ibnu Hajar, dll.

Berdasarkan hal ini, maka dapat kita simpulkan bahwa bertayammum dengan cara menempelkan tangan dua kali ke tanah dan mengusap kedua tangan sampai ke siku adalah tidak tepat karena haditsnya adalah lemah. Selain itu, cara tayammum yang tersebut di dalam hadits ini bertentangan dengan tata cara yang tersebut di dalam hadits yang sangat shahih, yaitu hadits ‘Ammar bin Yasir riwayat Al Bukhari dan Muslim. Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Taudhihul Ahkam karya Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Bassam rahimahullah ta'ala.

Jumlah tampilan:



Anda memiliki tugas menerjemahkan artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya? Kunjungi TransRisalah : Jasa Pengetikan dan Terjemah Bahasa Arab-Indonesia !