بسم الله الرحمن الرحيم
Pernikahan adalah salah satu perbuatan yang disyariatkan di dalam agama Islam. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk berumah tangga maka hendaklah dia menikah. Barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena ia dapat menahan syahwat.” [HR Al Bukhari (5065) dan Muslim (1400) dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu]
Ini adalah hukum yang berlaku secara umum. Adapun secara khusus, hukum menikah ini dapat dibagi ke dalam beberapa bagian menurut kondisi seseorang.
1. Bagi orang yang telah memiliki kemampuan memberi nafkah dan bersetubuh serta khawatir dirinya akan terjatuh ke dalam kemaksiatan bila tidak menikah, maka hukum menikah bagi orang seperti ini adalah wajib terutama bila tidak ada cara lain untuk menghindarinya kecuali dengan menikah.
2. Bagi orang yang memiliki syahwat terhadap lawan jenis tetapi dia merasa aman dan yakin untuk tidak terjerumus kepada kemaksiatan yang dilarang oleh syariat, maka orang ini tetap dianjurkan (mustahab) untuk menikah. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari mazhab Malikiah dan Hanabilah.
3. Bagi orang yang tidak memiliki syahwat, baik karena dia memang tidak ditakdirkan memiliki syahwat seperti impoten, ataupun pernah memiliki syahwat lalu hilang karena penyakit atau tua, maka orang seperti ini lebih dianjurkan untuk tidak menikah. Sebabnya adalah karena bagi orang yang seperti ini keadaanya, tujuan pernikahan itu tidak akan terwujud karena dia tidak akan mampu memenuhi hak pasangannya sehingga pasangannya tidak akan bisa menjaga kesucian dan kehormatan dirinya dari perbuatan maksiat.
Orang-orang seperti ini lebih dianjurkan untuk mengisi waktunya dengan kegiatan ibadah, menuntut ilmu, dan kegiatan lainnya yang lebih bermanfaat baginya.
Pendapat ini didukung oleh mazhab Syafi’iah dan pendapat yang paling kuat dari mazhab Hanabilah.
4. Bagi orang yang mampu untuk bersetubuh namun dia tidak memiliki keinginan untuk melakukannya, maka hukum menikah bagi orang seperti ini adalah tetap dianjurkan untuk menikah. Ada sebagian ulama yang mengatakan hukumnya adalah mubah namun ini tidaklah tepat karena bila dia menikah akan terwujud manfaat dan mashlahat yang lebih besar daripada jika dia tidak menikah. Di antara manfaatnya jika dia menikah adalah dihasilkannya keturunan, bisa menjaga kehormatan dan kesucian wanita, dan mengamalkan sunnah Nabi. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiah dan beberapa pengikut mazhab Hanabilah, Syafi’iah, dan Malikiah.
Dikecualikan dari hal ini adalah jika orang tersebut benar-benar fakir yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Dia mendapatkan keringanan (rukhshah) untuk tidak menikah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
“orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian dirinya, sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” [QS An Nur: 33]
Demikianlah beberapa hukum pernikahan baik secara umum maupun khusus.
Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Fathul ‘Allam Syarh Bulughil Maram karya Syekh Muhammad bin Hizam hafizhahullah ta’ala.
Pernikahan adalah salah satu perbuatan yang disyariatkan di dalam agama Islam. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Ini adalah hukum yang berlaku secara umum. Adapun secara khusus, hukum menikah ini dapat dibagi ke dalam beberapa bagian menurut kondisi seseorang.
1. Bagi orang yang telah memiliki kemampuan memberi nafkah dan bersetubuh serta khawatir dirinya akan terjatuh ke dalam kemaksiatan bila tidak menikah, maka hukum menikah bagi orang seperti ini adalah wajib terutama bila tidak ada cara lain untuk menghindarinya kecuali dengan menikah.
2. Bagi orang yang memiliki syahwat terhadap lawan jenis tetapi dia merasa aman dan yakin untuk tidak terjerumus kepada kemaksiatan yang dilarang oleh syariat, maka orang ini tetap dianjurkan (mustahab) untuk menikah. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari mazhab Malikiah dan Hanabilah.
3. Bagi orang yang tidak memiliki syahwat, baik karena dia memang tidak ditakdirkan memiliki syahwat seperti impoten, ataupun pernah memiliki syahwat lalu hilang karena penyakit atau tua, maka orang seperti ini lebih dianjurkan untuk tidak menikah. Sebabnya adalah karena bagi orang yang seperti ini keadaanya, tujuan pernikahan itu tidak akan terwujud karena dia tidak akan mampu memenuhi hak pasangannya sehingga pasangannya tidak akan bisa menjaga kesucian dan kehormatan dirinya dari perbuatan maksiat.
Orang-orang seperti ini lebih dianjurkan untuk mengisi waktunya dengan kegiatan ibadah, menuntut ilmu, dan kegiatan lainnya yang lebih bermanfaat baginya.
Pendapat ini didukung oleh mazhab Syafi’iah dan pendapat yang paling kuat dari mazhab Hanabilah.
4. Bagi orang yang mampu untuk bersetubuh namun dia tidak memiliki keinginan untuk melakukannya, maka hukum menikah bagi orang seperti ini adalah tetap dianjurkan untuk menikah. Ada sebagian ulama yang mengatakan hukumnya adalah mubah namun ini tidaklah tepat karena bila dia menikah akan terwujud manfaat dan mashlahat yang lebih besar daripada jika dia tidak menikah. Di antara manfaatnya jika dia menikah adalah dihasilkannya keturunan, bisa menjaga kehormatan dan kesucian wanita, dan mengamalkan sunnah Nabi. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiah dan beberapa pengikut mazhab Hanabilah, Syafi’iah, dan Malikiah.
Dikecualikan dari hal ini adalah jika orang tersebut benar-benar fakir yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Dia mendapatkan keringanan (rukhshah) untuk tidak menikah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
وَلْيَسْتَعْفِفِ
الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
Demikianlah beberapa hukum pernikahan baik secara umum maupun khusus.
والحمد لله رب العالمين
Jumlah tampilan:
Anda memiliki tugas menerjemahkan artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya? Kunjungi TransRisalah : Jasa Pengetikan dan Terjemah Bahasa Arab-Indonesia !