بسم الله الرحمن الرحيم
A. Kelompok yang mengatakan shalat tasbih itu disyariatkan berdalil dengan hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Abu Daud (1297) dan Ibnu Majah (1386). Hadits ini dishahihkan atau dihasankan oleh beberapa ulama.
Ia adalah hadits yang panjang dan kami sebutkan beberapa pokok masalah yang terkandung di dalamnya, di antaranya:
1. Barangsiapa yang mengerjakan shalat ini maka dia akan diampuni seluruh dosanya.
2. Pemberitahuan mengenai tata cara pelaksanaan shalat tasbih, yaitu jumlah rakaatnya ada empat dan mengucapkan zikir “subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar” di setiap berdiri, rukuk, i’tidal, sujud, duduk antara dua sujud, bangkit dari sujud, dst sebanyak 75 kali setiap satu rakaat atau 300 kali hingga rakaat terakhir.
3. Waktu pelaksanaan shalat ini adalah setiap hari sekali, jika tidak maka sejum’at sekali, jika tidak maka sebulan sekali, jika tidak maka setahun sekali, jika tidak maka seumur hidup sekali.
Ini adalah pendapat pertama yang didukung oleh Abu Bakr Al Ajurri, Al Baihaqi, Abdullah ibnul Mubarak, As Subuki, As Suyuthi, dll.
B. Adapun kelompok kedua mengatakan bahwasanya shalat sunat tasbih ini adalah bid’ah dan tidak disyariatkan untuk dilaksanakan. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
1. Mereka menilai hadits Abdullah bin Abbas di atas adalah sangat lemah. Hadits ini dilemahkan oleh At Tirmidzi, Al ‘Uqaili, Al Mizzi, Ibnu Taimiyah, dan An Nawawi di kitab Syarhul Muhadzdzab. Ibnu Taimiyah berkata: “(Hadits ini) batil dan tidak dianggap mustahab oleh para imam.” Ibnul Jauzi berkata: “Sesungguhnya ia termasuk dari hadits-hadits palsu.”
2. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab At Talkhish: “Yang benar adalah bahwa jalur periwayatan hadits ini seluruhnya adalah lemah. Meskipun hadits Ibnu Abbas ini mendekati syarat hadits hasan namun ia adalah syadz (mengandung penyelisihan) karena sangat asing jalur periwayatannya, tidak adanya mutaba’ah (pendukung) dan syawahid (penguat) yang meyakinkan, dan tata cara pelaksanaannya yang menyelisihi tata cara shalat yang lainnya.”
3. Di dalam sanad hadits ini terdapat seorang perawi yang bernama Musa bin Abdil Aziz Al Adani. Meskipun dia ini adalah seorang yang jujur dan shalih namun dia tidak bisa menanggung keasingan jalur sanad hadits ini, sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.
4. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Shalat ini tidak dianjurkan oleh para ulama.” Bahkan dikatakan bahwasanya orang yang paling pertama melaksanakan shalat ini adalah Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah, dan dia bukanlah seorang sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم .
5. Syekh Muhammad Al Utsaimin rahimahullah menerangkan tentang hal-hal yang memperkuat kelemahan hadits ini. Di antaranya:
a. Tata cara pelaksanaannya yang sangat aneh dan menyelisihi tata cara shalat yang lain.
b. Terdapat pula keanehan dari segi waktu pelaksanaannya. Ia boleh dilakukan setiap hari, atau sepekan sekali, atau sebulan sekali, atau setahun sekali, atau cukup seumur hidup sekali. Ibadah manakah yang sama dengan ibadah ini?
c. Bila memang benar shalat ini disyariatkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم , bagaimana mungkin shalat ini tidak diketahui oleh para sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم , namun yang mengetahui dan pertama kali mengamalkannya adalah seorang tabi’in (Abdullah ibnul Mubarak)?
KESIMPULAN
Berdasarkan perbandingan keterangan dari para ulama di atas maka kami menyimpulkan bahwa shalat sunat tasbih adalah bid’ah dan tidak boleh untuk dilakukan. Adapun orang yang melaksanakan shalat ini tidak boleh dengan serta merta dihukumi sebagai seorang ahli bid’ah. Wallahu a’lam.
وبالله التوفيق
Jumlah tampilan:
Anda memiliki tugas menerjemahkan artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya? Kunjungi TransRisalah : Jasa Pengetikan dan Terjemah Bahasa Arab-Indonesia !