بسم الله الرحمن الرحيم
Hadits lemah, terlebih lagi hadits palsu, tidak boleh diamalkan dalam berbagai perkara agama apapun termasuk di dalam masalah fadhailul a’mal (keutamaan dan pahala suatu amal sholih) dan at targhib wat tarhib (anjuran beramal sholih dan ancaman berbuat dosa).
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata di dalam kitab Tamamul Minnah (hal. 34): “Barangsiapa yang mengecualikan darinya (yaitu larangan penggunaan hadits lemah) hadits lemah di dalam masalah fadhailul a’mal maka dia harus mendatangkan dalil, dan itu sangat tidak mungkin.” Ini juga merupakan pendapat Syaikh Muqbil Al Wadi’i rahimahullah di dalam kitabnya Al Makhraj minal Fitnah (hal. 103) dan Ijabatus Sa`il (hal. 449).
Sebab dilarangnya mengamalkan hadits-hadits lemah adalah karena ia adalah salah satu bentuk kedustaan (taqawwul) dengan mengatas namakan Allah ‘azza wa jallah dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم seolah-olah Allah dan Rasul-Nya pernah mengatakan atau mensyariatkan hal tersebut. Demikian makna kalam Asy Syaukani di dalam kitab Al Fawaid Al Majmu’ah (hal. 283).
Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri hafizhahullah ta’ala, menyebutkan beberapa kerusakan yang diakibatkan dari pengamalan hadits-hadits lemah dan palsu di dalam syariat. Kami sebutkan beberapa di antaranya:
1. Menyebabkan tersebarnya bid’ah dan tersainginya sunnah.
2. Menyebabkan terjadinya perselisihan di antara kaum muslimin.
3. Terkadang terjadi pengambilan hukum dari hadits-hadits at targhib wat tarhib yang lemah sehingga muncul sikap, akhlak, dan keyakinan yang dianggap merupakan contoh dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم , padahal tidaklah demikian halnya.
4. Beramal dengan hadits lemah terkadang bisa menghilangkan kesempatan untuk beramal dengan dengan hadits yang shahih.
5. Hadits-hadits lemah terkadang menimbulkan kesulitan dan keraguan terhadap dalil-dalil yang shahih.
Silakan melihat pengantar kitab Fathul Lathif fi Hukmil ‘Amal bil Haditsidh Dha’if karangan Ali bin Ahmad Ar Razihi hadahullah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam kitab Qa’idatun Jalilah fit Tawassul wal Wasilah (hal. 84): “Tidak boleh di dalam syariat bersandar kepada hadits-hadits lemah yang tidak shahih dan tidak hasan.”
Abu Syamah Al Maqdisi rahimahullah berkata: “Sekelompok ahli hadits bermudah-mudahan terhadap hadits-hadits tentang keutamaan suatu amalan. Hal ini menurut para peneliti dari kalangan ahli hadits, ulama ushul, dan fiqh adalah suatu kesalahan. Bahkan sepatutnya bagi mereka untuk menerangkan hal ini (yaitu derajat kelemahan hadits) jika mengetahui akan kelemahannya. Jika tidak menerangkannya maka termasuk ke dalam sabda beliau صلى الله عليه وسلم :
“Barangsiapa yang menyampaikan hadits dariku dan dia mengetahui bahwasanya (hadits) tersebut adalah dusta maka ia adalah salah satu dari para pendusta.” [HR At Tirmidzi (2662) dan Ibnu Majah (41) dari Al Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu . Hadits shahih.]
Hadits lemah, terlebih lagi hadits palsu, tidak boleh diamalkan dalam berbagai perkara agama apapun termasuk di dalam masalah fadhailul a’mal (keutamaan dan pahala suatu amal sholih) dan at targhib wat tarhib (anjuran beramal sholih dan ancaman berbuat dosa).
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata di dalam kitab Tamamul Minnah (hal. 34): “Barangsiapa yang mengecualikan darinya (yaitu larangan penggunaan hadits lemah) hadits lemah di dalam masalah fadhailul a’mal maka dia harus mendatangkan dalil, dan itu sangat tidak mungkin.” Ini juga merupakan pendapat Syaikh Muqbil Al Wadi’i rahimahullah di dalam kitabnya Al Makhraj minal Fitnah (hal. 103) dan Ijabatus Sa`il (hal. 449).
Sebab dilarangnya mengamalkan hadits-hadits lemah adalah karena ia adalah salah satu bentuk kedustaan (taqawwul) dengan mengatas namakan Allah ‘azza wa jallah dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم seolah-olah Allah dan Rasul-Nya pernah mengatakan atau mensyariatkan hal tersebut. Demikian makna kalam Asy Syaukani di dalam kitab Al Fawaid Al Majmu’ah (hal. 283).
Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri hafizhahullah ta’ala, menyebutkan beberapa kerusakan yang diakibatkan dari pengamalan hadits-hadits lemah dan palsu di dalam syariat. Kami sebutkan beberapa di antaranya:
1. Menyebabkan tersebarnya bid’ah dan tersainginya sunnah.
2. Menyebabkan terjadinya perselisihan di antara kaum muslimin.
3. Terkadang terjadi pengambilan hukum dari hadits-hadits at targhib wat tarhib yang lemah sehingga muncul sikap, akhlak, dan keyakinan yang dianggap merupakan contoh dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم , padahal tidaklah demikian halnya.
4. Beramal dengan hadits lemah terkadang bisa menghilangkan kesempatan untuk beramal dengan dengan hadits yang shahih.
5. Hadits-hadits lemah terkadang menimbulkan kesulitan dan keraguan terhadap dalil-dalil yang shahih.
Silakan melihat pengantar kitab Fathul Lathif fi Hukmil ‘Amal bil Haditsidh Dha’if karangan Ali bin Ahmad Ar Razihi hadahullah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam kitab Qa’idatun Jalilah fit Tawassul wal Wasilah (hal. 84): “Tidak boleh di dalam syariat bersandar kepada hadits-hadits lemah yang tidak shahih dan tidak hasan.”
Abu Syamah Al Maqdisi rahimahullah berkata: “Sekelompok ahli hadits bermudah-mudahan terhadap hadits-hadits tentang keutamaan suatu amalan. Hal ini menurut para peneliti dari kalangan ahli hadits, ulama ushul, dan fiqh adalah suatu kesalahan. Bahkan sepatutnya bagi mereka untuk menerangkan hal ini (yaitu derajat kelemahan hadits) jika mengetahui akan kelemahannya. Jika tidak menerangkannya maka termasuk ke dalam sabda beliau صلى الله عليه وسلم :
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي حَدِيْثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ
أَحَدُ الكَاذِبِيْنِ
والحمد لله رب العالمين
Jumlah tampilan:
Anda memiliki tugas menerjemahkan artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya? Kunjungi TransRisalah : Jasa Pengetikan dan Terjemah Bahasa Arab-Indonesia !