Bismillahirrahmanirrahim | Berkata Abdullah ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: "Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun yang baru melainkan mereka pasti akan membuat bid'ah baru dan mematikan sunnah sehingga hiduplah bid'ah dan matilah sunnah." Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al Bida' wan Nahyu 'anha | Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta'ala: "Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat karena maksiat akan ditaubati sedangkan bid'ah tidak akan ditaubati." Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/216) | Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta'ala: "Barangsiapa yang rusak dari kalangan ulama kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ulama Yahudi dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ahli ibadah Nasrani." |

Senin, 12 Oktober 2015

Apakah Jahil (Bodoh) dalam Perkara Agama Diperbolehkan?

بسم الله الرحمن الرحيم

Sebagian kaum muslimin melakukan beberapa perbuatan yang menyelisihi syariat baik itu berupa kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan, atau kemaksiatan dengan alasan bahwa dia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu diharamkan atau dilarang di dalam Islam. Dia beralasan bahwa dirinya jahil atau tidak mengerti urusan agama sehingga dia tidak segan untuk melakukan pelanggaran. Atas dasar ini dia mengatakan bahwa dirinya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang diberikan uzur (maaf) karena kejahilannya terhadap masalah hukum agama.

Alasan seperti ini tidaklah bisa diterima begitu saja karena ulama telah mengatur permasalahan al ‘udzru bil jahl (pemberian maaf yang disebabkan karena kebodohan) agar hal ini tidak bisa dijadikan sebagai senjata bagi orang-orang yang berpenyakit hatinya agar bebas melakukan penyelisihan syariat dan tidak pernah mau mempelajari ilmu agama.

Ketahuilah, bahwa orang yang bodoh dalam perkara agama lalu terjatuh ke dalam perkara kufur, bid’ah, atau maksiat terbagi kepada dua keadaan:

PERTAMA: Orang yang jahil dalam perkara agama disebabkan karena ketidakpeduliannya terhadap perkara agama padahal dia berada di daerah yang terdapat orang yang berilmu dan memungkinkan baginya untuk bertanya tentang perkara agama yang tidak diketahuinya. Dia juga pada dasarnya adalah orang yang tidak mencintai dan menginginkan kebenaran. Maka orang yang seperti ini keadaannya tidak diberikan uzur (maaf) atas kejahilannya.

Dalil atas hal ini di antaranya adalah:

1. Firman Allah ta’ala:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Sungguh Kami telah jadikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” [QS Al A’raf: 179]

2. Firman Allah ta’ala:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (agama) jika kalian tidak mengetahui.” [QS An Nahl: 43]

3. Firman Allah ta’ala:

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS An Nisa`: 165]

4. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

وَالّذِي نَفْسُ مُحَمّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمّةِ يَهُودِيّ وَلاَ نَصْرَانِيّ، ثُمّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النّارِ

“Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, tidaklah seorangpun dari umat ini yang mendengar tentang (kerasulan)ku, termasuk Yahudi dan Nasrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, melainkan dia termasuk sebagai penghuni neraka.” [HR Muslim (153)]

KEDUA: Orang yang jahil dalam perkara agama karena bertempat tinggal di daerah yang tidak ada orang yang memahami tentang perkara agama (seperti daerah pelosok dan pedalaman) yang bisa dijadikan sebagai tempat bertanya. Ataupun sama sekali tidak terlintas di pikirannya bahwa apa yang dilakukannya adalah haram sehingga dia tidak bertanya, sedangkan dirinya adalah termasuk orang-orang yang mencintai agama dan menginginkan kebenaran. Orang yang seperti ini keadaannya diberikan uzur (maaf) atas kejahilannya.

Dalil atas jenis yang kedua ini di antaranya adalah:

1. Firman Allah ta’ala:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” [QS Al Baqarah: 286]

Dari ayat ini dapat diambil sebuah kaidah bahwa seluruh perbuatan haram yang dilakukan oleh seorang hamba dalam keadaan salah yang tidak disengaja ataupun lupa, maka dia dimaafkan, tidak dihukum atas kesalahannya, tidak batal ibadahnya, dan tidak wajib membayar kafarah. Kejahilan adalah saudaranya lupa. Demikian makna kalam Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam Al Liqa`u Asy Syahri (1/355).

2. Firman Allah ta’ala:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

“dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” [QS Al Isra`: 15]

3. Firman Allah ta’ala:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ

“Tidaklah Rabbmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezhaliman.” [QS Al Qashash: 59]

4. Kisah Mu’awiyah ibnul Hakam radhiallahu ‘anhu ketika sedang melaksanakan shalat berjamaah bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم lalu ada salah seorang angota jama’ah yang bersin dan mengucapkan alhamdulillah, maka Muawiyah menjawabnya dengan mengatakan: “Yarhamukallah.” di dalam shalat. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya nomor 537.

Sisi pendalilan dari hadits ini adalah Mu’awiyah berbicara mengucapkan “yarhamukallah” di dalam shalat kepada orang yang bersin disebabkan karena kejahilannya tentang larangan berbicara dengan kalam manusia di dalam shalat. Dalam kasus ini Mu`awiyah mendapatkan uzur karena kejahilannya dan tidak diperintahkan untuk mengulangi shalatnya.

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya tentang masalah al ‘udzru bil jahl di dalam masalah aqidah, maka beliau menjawab:

“... Tidaklah seseorang diberikan uzur dengan ucapannya “saya jahil dalam masalah seperti ini” sedangkan dia berada di antara kaum muslimin dan telah sampai kepadanya Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya عليه الصلاة والسلام . Orang seperti ini dinamakan sebagai mu’ridh (orang yang berpaling), dan disebut sebagai orang yang lalai dan berpura-pura jahil terhadap perkara yang agung ini.” Lalu Syaikh berdalil dengan ayat ke-44 dari surat Al Furqan, ayat ke-179 dari surat Al A’raf, dan ayat ke-30 dari surat Al A’raf.

Selanjutnya beliau berkata: “Adapun orang yang berada jauh dari kaum muslimin, di ujung negeri yang tidak ada padanya kaum muslimin dan tidak sampai kepadanya Al Qur’an dan as sunnah, maka dia mendapatkan uzur. Hukumnya seperti hukum ahlul fatrah (kaum yang hidup sebelum masa kenabian dan tidak sampai kepada mereka dakwah tauhid) yang meninggal dalam keadaan seperti ini yang mereka itu akan diuji (keimanan mereka) pada hari kiamat. Barangsiapa yang mengikuti dan patuh terhadap perintah (Allah) maka dia masuk surga dan barangsiapa yang durhaka maka dia masuk neraka.”

Sampai kepada perkataan beliau rahimahullah: “Maka wajib bagi pria dan wanita dari kalangan kaum muslimin untuk mempelajari agama, bertanya tentang perkara-perkara yang membingungkan mereka, tidak berdiam diri di dalam kejahilan, tidak berpaling, dan tidak lalai; karena mereka diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan menaati-Nya subhanahu wa ta’ala. Tidak ada jalan untuk bisa mendapatkannya melainkan dengan ilmu. Ilmu tidak akan bisa dihasilkan dengan sikap lalai dan berpaling. Akan tetapi harus dengan menuntut ilmu dan harus dengan bertanya kepada ahlul ‘ilmi hingga orang yang jahil dapat memahami.” Demikian jawaban dari Syaikh Ibnu Baz rahimahullah sebagaimana di dalam kumpulan fatwa beliau (9/313).

Di dalam “As`ilah wa Ajwibah fil Imani wal Kufri” (1/73/soal 35), Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Ar Rajihi hafizhahullah ditanya tentang perincian di dalam masalah al ‘udzru bil jahl (pemberian maaf yang disebabkan karena kebodohan). Lalu beliau menjawab:

“Masalah ‘udzru bil jahl telah dijelaskan oleh ulama rahimahumullah dan telah diperinci oleh Ibnul Qayyim rahimahullah di kitab Thariqul Hijratain dan Al Kafiah Asy Syafiah, dan telah dijelaskan oleh para imam dakwah seperti Syaikh Abdullah Aba Buthain dan yang lainnya, serta telah dijelaskan pula oleh Ibnu Abil ‘Izz sedikit tentang ini di Syarh Ath Thahawiyyah.

Kesimpulan dalam masalah ini adalah bahwa orang yang jahil (bodoh) di dalamnya (perkara agama) ada perincian: Orang jahil yang memungkinkan baginya untuk bertanya dan mendapatkan ilmu, maka dia tidak diberikan uzur. Dia harus belajar dan harus mencari dan bertanya. Orang jahil yang menginginkan kebenaran tidaklah sama dengan orang jahil yang tidak menginginkan kebenaran.

Maka orang jahil ada dua jenis: Pertama: Orang jahil yang menginginkan kebenaran. Kedua: Orang jahil yang tidak menginkan kebenaran.

Orang yang tidak menginginkan kebenaran tidaklah mendapatkan uzur, bahkan meskipun dia tidak mampu untuk sampai kepada ilmu, karena dia (pada dasarnya memang) tidak menginginkan kebenaran. Adapun orang yang ingin mengetahui kebenaran, apabila dia mencari kebenaran tapi tidak berhasil mendapatkannya maka dia dimaafkan.” Selesai penukilan fatwa secara ringkas.

Sebagai tambahan penjelasan, silakan pula membaca fatwa Al Lajnah Ad Daimah (3/221/no. 11043) kalam Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitab Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid (1/173) dan Liqa`ul Babil Maftuh (19/30).

Demikianlah penjelasan ringkas tentang masalah al ‘udzru bil jahl yang saya rangkum dari berbagai kalam ulama sunnah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

والحمد لله رب العالمين

Jumlah tampilan:



Anda memiliki tugas menerjemahkan artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya? Kunjungi TransRisalah : Jasa Pengetikan dan Terjemah Bahasa Arab-Indonesia !