Bismillahirrahmanirrahim | Berkata Abdullah ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: "Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun yang baru melainkan mereka pasti akan membuat bid'ah baru dan mematikan sunnah sehingga hiduplah bid'ah dan matilah sunnah." Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al Bida' wan Nahyu 'anha | Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta'ala: "Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat karena maksiat akan ditaubati sedangkan bid'ah tidak akan ditaubati." Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/216) | Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta'ala: "Barangsiapa yang rusak dari kalangan ulama kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ulama Yahudi dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ahli ibadah Nasrani." |

Sabtu, 18 Mei 2013

Hukum Shalat Ghaib

بسم الله الرحمن الرحيم

Di antara jenis shalat yang dilakukan oleh kaum muslimin terhadap jenazah adalah shalat Ghaib. Tata cara pelaksanaan shalat Ghaib ini sebenarnya tidak berbeda dengan cara pelaksanaan shalat Jenazah. Perbedaannya hanyalah bahwa shalat Ghaib ini dilakukan apabila jenazah yang ingin dishalatkan meninggal di tempat yang berbeda dengan tempat pelaksanaan shalat Ghaib. Pada tulisan kali ini, kami ingin mencoba mengupas tentang hukum pelaksanaan shalat Ghaib ini dan bagaimana waktu pelaksanaannya yang tepat.

Pada asalnya, shalat Ghaib ini merupakan suatu ibadah yang disyariatkan karena hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم di Madinah terhadap An Najasyi, seorang raja negeri Habasyah (Ethiopia) yang beragama Islam, yang wafat di negeri tersebut. Pada saat itu negeri Habasyah adalah adalah negeri Nasrani. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ

“Bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengumumkan kematian An Najasyi pada hari kematiannya. Rasul keluar bersama para sahabatnya ke lapangan, lalu mengatur shaf, kemudian (melaksanakan shalat dengan) bertakbir sebanyak empat kali.” [HR Al Bukhari (1333) dan Muslim (951)]

Akan tetapi yang harus diperhatikan di dalam ibadah yang satu ini, ia hanya dilakukan dengan syarat apabila jenazah yang hendak kita shalatkan secara ghaib itu belum disahalatkan di tempat kematiannya oleh kaum muslimin yang ada di sana ketika dia meninggal. Ataupun apabila jenazah itu wafat di daerah yang tidak ada satu orang muslimpun yang menyhalatkannya, seperti negeri kaum kafir, pedalaman hutan, padang pasir, dsb. Apabila keadaannya demikian, yaitu jenazah itu belum pernah dishalatkan sama sekali di tempat kematiannya, maka di sini berlakulah shalat Ghaib.

Adapun jika jenazah itu wafat di negeri muslim, dan jenazahnya sudah dishalatkan secara hadir (yaitu pada hari dia meninggal oleh kaum muslimin setempat), maka pada keadaan seperti ini shalat Ghaib tidak disyariatkan, bahkan ia bisa terjatuh kepada bid’ah sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah di dalam kitabnya Ahkamul Janaiz (hal. 136).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam kitab Zadul Ma’ad (1/205-206): “Bukanlah petunjuk Rasul صلى الله عليه وسلم dan bukan pula sunnahnya untuk menyhalatkan setiap jenazah yang tidak ada di tempat (ghaib). Ada banyak kaum muslimin yang meninggal di tempat yang jauh (di luar tempat Nabi berada), namun beliau tidak pernah menyhalatkan mereka (secara ghaib). Yang pernah Nabi lakukan hanyalah melaksanakan shalat (ghaib) kepada An Najasyi seperti melaksanakan shalat jenazah.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Yang benar adalah jika jenazah yang jauh meninggal di negeri yang dia itu belum dishalatkan di sana, maka dilakukan untuknya shalat Ghaib, sebagaimana Nabi صلى الله عليه وسلم menyhalatkan An Najasyi karena dia meninggal di tengah-tengah kaum kafir dan belum dishalatkan. Sedangkan jika orang yang meninggal itu sudah dishalatkan di tempat kematiannya, maka tidak perlu lagi dilakukan shalat Ghaib untuknya.”

Di antara yang memperkuat pendapat ini adalah kenyataan bahwa ketika para Khulafa` Ar Rasyidin dan para sahabat yang lainnya wafat, tidak ada satupun dari kaum muslimin yang menyhalatkan jenazah mereka secara ghaib. Kalau mereka ada melakukannya, niscaya ada banyak sekali riwayat yang menceritakan peristiwa ini.

Perincian seperti ini juga didukung oleh Abu Daud di kitab Sunan, Al Khaththabi di dalam kitabnya Ma’alimus Sunan, Ar Ruyani (keduanya bermazhab Asy Syafi’i), dll.

KESIMPULAN:

Shalat Ghaib hukum asalnya adalah disyariatkan, akan tetapi ia hanya dilakukan pada ketika jenazah yang meninggal itu berada di tempat yang jauh dan belum ada atau tidak ada satupun kaum muslimin yang menyhalatkan jenazahnya. Sedangkan jika jenazah itu sudah dishalatkan di tempat kematiannya oleh kaum muslimin setempat, maka pelaksanaan shalat Ghaib di daerah lain untuk jenazah tersebut tidak disyariatkan. Wallahu a’lam.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Ahkamul Janaiz wa Bida’uha karya Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah.

Jumlah tampilan:



Anda memiliki tugas menerjemahkan artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya? Kunjungi TransRisalah : Jasa Pengetikan dan Terjemah Bahasa Arab-Indonesia !