بسم الله الرحمن الرحيم
Berikut ini akan kami sampaikan pembahasan mengenai ucapan dusta dari segi jenis-jenis dan hukum-hukumnya menurut syariat. Alasan kami menulis tentang hal ini adalah karena adanya pertanyaan dari sebagian pembaca tentang hal ini. Dengan meminta pertolongan Allah, saya katakan:
Ucapan dusta ada tiga jenis, yaitu:
1. Dusta yang diharamkan.
Berdusta hukumnya adalah dosa besar. Ini adalah hukum asal dari perkara ini. Dalil tentang diharamkannya hal ini di antaranya adalah:
a. Hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ
الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ،
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا؛ وَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ
الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa kepada surga. Sesungguhnya seorang lelaki selalu bersikap jujur sehingga dia menjadi seorang yang shiddiq. Sesungguhnya dusta itu membawa kepada dosa, dan dosa itu membawa kepada neraka. Sesungguhnya seorang lelaki selalu berdusta sehingga dia dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” [HR Al Bukhari (6094) dan Muslim (2607)]
b. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ
كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Ciri orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diserahkan amanah dia berkhianat.” [HR Al Bukhari (33) dan Muslim (59)]
2. Dusta yang diperbolehkan.
Sebagaimana yang telah kita terangkan di atas bahwa hukum asal berdusta adalah haram. Ia baru diperbolehkan dengan syarat apabila ada tujuan baik dan penting yang ingin dicapai oleh si pembicara akan tetapi maksud baik ini tidak bisa terwujud kecuali dengan harus berdusta. Dalam keadaan seperti ini berdusta diperbolehkan.
Adapun jika tujuan baik itu masih bisa dicapai dengan tanpa berdusta, maka dalam keadaan seperti ini berdusta tetap diharamkan. Demikian makna kalam An Nawawi di dalam kitab Riyadhush Shalihin.
Di antara contoh berbohong yang diperbolehkan adalah:
a. Jika ada seorang muslim yang bersembunyi dari kejaran seorang penjahat yang ingin membunuhnya, dan kita tahu di mana dia bersembunyi. Jika kita ditanya oleh penjahat itu di mana tempat muslim tadi bersembunyi, maka kita wajib untuk berbohong demi menyelamatkan jiwanya.
b. Jika ada seorang muslim yang menitipkan hartanya kepada kita untuk disembunyikan karena ada orang yang ingin merampasnya, lalu kita ditanya oleh orang itu di mana hartanya disembunyikan, maka kita wajib untuk berbohong demi menyelamatkan hartanya.
c. Jika ada dua kelompok muslim yang saling bertikai dan berselisih, lalu kita ingin mendamaikan antara dua kelompok tersebut. Caranya adalah kita mendatangi kelompok pertama dan berbohong kepada mereka bahwasanya kelompok kedua telah meminta maaf dan mengakui kesalahan mereka. Kemudian kita mendatangi kelompok kedua dan berbohong kepada mereka bahwasanya kelompok pertama telah meminta maaf dan mengakui kesalahan mereka. Sehingga dengan cara seperti ini terjadilah perdamaian di antara mereka.
d. Jika ada seseorang yang menghina saudaranya muslim, lantas orang yang dihina datang dan bertanya kepada kita: “Apakah benar si Fulan telah menghina saya?” Jika kita menjawab dengan jujur dikhawatirkan akan timbul masalah yang besar, maka kita boleh berdusta dengan mengatakan: “Itu tidak benar.”
Dalil yang menunjukkan bolehnya berdusta demi kebaikan adalah hadits Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَيْسَ
الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ
خَيْرًا
“Bukanlah pendusta orang yang melakukan perdamaian antara manusia lalu dia menggalakkan kebaikan atau mengucapkan kebaikan.” [HR Al Bukhari (2692) dan Muslim (2605)]
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan:
قال ابن شهاب: ولم أسمع يرخَّص في شيء مما يقول
الناس كذبٌ إلا في ثلاث: الحرب، والإصلاح بين الناس، وحديث الرجل امرأته وحديث
المرأة زوجها
Ibnu Syihab berkata: “Saya tidak pernah mendengar ucapan dusta yang diucapkan oleh manusia diperbolehkan, kecuali dalam tiga keadaan: (siasat) perang, mendamaikan antara manusia, dan ucapan seorang lelaki terhadap istrinya atau ucapan seorang wanita terhadap suaminya.”
Maksud berdusta di dalam perang adalah di dalam menjaga kerahasiaan siasat dan strategi perang dari kebocoran ke tangan mata-mata musuh. Sedangkan maksud dari ucapan seorang suami terhadap istrinya atau sebaliknya adalah ucapan-ucapan yang bermaksud untuk tetap menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga mereka.
3. Tauriyah.
Tauriyah maknanya adalah mengucapkan suatu ucapan yang secara zhahir terhadap pemahaman orang yang diajak bicara adalah dusta, akan tetapi sebenarnya ucapan ini pada hakikatnya adalah benar dan bukan dusta.
Perbuatan seperti ini diperbolehkan di dalam Islam, bahkan para ulama mengatakan bahwa tauriyah ini lebih baik daripada berdusta yang diperbolehkan.
Di antara contoh tauriyah adalah:
a. Pada suatu ketika, Nabi Ibrahim صلى الله عليه وسلم diajak oleh ayahnya yang kafir yang bernama Azar untuk menghadiri acara perayaan kesyirikan. Ketika di dalam perjalanan, Nabi Ibrahim berpura-pura jatuh sakit. Ayahnya bertanya: “Kenapa kamu?” Beliau menjawab: “Saya sakit.”
Ucapan ini adalah tauriyah dari beliau karena yang beliau maksudkan bukan tubuhnya yang sakit, akan tetapi hati dan perasaannya yang merasa sakit terhadap kesyirikan yang dilakukan oleh kaumnya.
Beliau mengucapkan ucapan ini agar tidak sampai ikut menghadiri perayaan kesyirikan tersebut dan agar dia dapat memiliki kesempatan untuk menghancurkan berhala-berhala kaumnya.
Kemudian Ibrahim ‘alaihis salam tanpa sepengetahuan mereka menghancurkan seluruh berhala kecuali satu berhala yang besar. Tuduhan pun langsung mengarah kepada Ibrahim. Ketika beliau diinterogasi oleh kaumnya dan ditanya siapa yang menghancurkan berhala-berhala mereka, beliau melakukan tauriyah dengan menjawab: “Justru yang melakukannya adalah berhala yang besar itu.”
b. Kisah Nabi Irahim ‘alaihish shalatu was salam hijrah bersama istrinya Sarah radhiallahu ‘anha. Mereka melewati suatu daerah yang dikuasai oleh pemimpin yang jahat. Pemimpin zhalim itu tertarik atas kecantikan Sarah. Nabi Ibrahim ditanya: “Siapa wanita ini?” Karena khawatir atas keselamatan istrinya, Nabi Ibrahim lantas bertauriyah dengan mengatakan: “Ia adalah saudariku.”
Ucapan ini secara zhahir adalah dusta karena Sarah bukanlah saudari Ibrahim, melainkan istrinya. Akan tetapi maknanya adalah benar karena yang dimaksudkan oleh Nabi Ibrahim adalah saudara seiman, bukan saudara sedarah.
Demikianlah penjelasan mengenai masalah berdusta berserta hukum-hukumnya. Semoga bermanfaat.
والحمد لله رب العالمين
Jumlah tampilan:
Anda memiliki tugas menerjemahkan artikel berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya? Kunjungi TransRisalah : Jasa Pengetikan dan Terjemah Bahasa Arab-Indonesia !