بسم الله الرحمن الرحيم
Pertanyaan:
Bagaimana jika di lingkungan kita orang-orang yang berkhutbah itu rata-rata adalah orang-orang yang tidak paham aqidah yang benar dan banyak melakukan kebid’ahan. Apakah boleh kita mendengar khutbah mereka, sementara kita dilarang bermajelis mendengar ilmu dari orang-orang yang sesat?
Jawaban:
Pada asalnya, mendengarkan khatib berkhutbah hukumnya adalah wajib berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ: أَنْصِتْ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila engkau berkata kepada temanmu pada hari Jum’at: “Diamlah engkau!” dan imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berkata sia-sia (batil).” [HR Al Bukhari (934) dan Muslim (851)]
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ
أَسْفَارًا، وَاَلَّذِي يَقُولُ لَهُ: أَنْصِتْ، لَيْسَتْ لَهُ جُمُعَةٌ
“Barangsiapa yang berbicara pada hari Jum’at dan imam sedang berkhutbah, maka dia seperti keledai yang mengangkut kitab-kitab yang besar; dan orang yang berkata kepada (teman)nya: “Diamlah engkau!” maka tidak ada (pahala shalat) Jum’at baginya.” [HR Ahmad (2033). Hadits lemah.]
Meskipun sanad hadits di atas adalah lemah, akan tetapi bagian akhir dari hadits ini memiliki penguat (syawahid) dari hadits Abu Hurairah di atas dan hadits Abdullah bin ‘Amr riwayat Abu Daud (1113) yang bersanad hasan. Demikian disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Hizam hafizhahullah ta’ala di dalam Kitabush Sholah min Bulughil Maram.
Adapun jika khatib menyampaikan materi khutbah yang menyimpang, seperti bid’ah dan kefasikan, maka ulama berselisih di dalam masalah ini. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam kitab Fathul Bari (2/415): “Ulama salaf berselisih bila khatib berkhutbah dengan perkataan yang tidak pantas. Kepada itulah apa yang dinukilkan dari ulama salaf yang berbicara pada saat khutbah dibawa.”
Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah berkata di dalam kitab Fathul Bari (5/503): “Adapun (khatib) berbicara dengan pembicaraan yang haram, seperti bid’ah atau mencela ulama Salaf, sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Umayyah, kecuali Umar bin Abdil Aziz -rahmatullahi ‘alaihi-, maka sekelompok ulama berpendapat: dia tetap hadir dan diam mendengarkan. (Pendapat ini) diriwayatkan dari ‘Amr bin Murrah dan Qatadah.
Sedangkan kebanyakan (ulama) berlawanan dengan itu, di antara mereka adalah Asy Sya’bi, Sa’id bin Jubair, Abu Burdah, ‘Atha`, An Nakha’i, Az Zuhri, ‘Urwah, dan Al Laits bin Sa’d. Dan inilah pendapat yang benar karena sesungguhnya Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ
فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ
“Apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan yang lain.” [QS Al An’am: 68]
Perkara apa saja yang diharamkan, maka haram untuk mendengarkannya dan memperhatikannya, dan wajib untuk menyibukkan diri darinya, seperti mendengarkan lagu, alat-alat musik, dan yang sejenisnya. Barangkali pendapat ‘Amr bin Murrah dan Qatadah berkaitan dengan ucapan yang mubah, bukan dalam perkara yang haram.” Demikian kalam Ibnu Rajab rahimahullah.
Berkata Ibnu Hazm rahimahullah di dalam kitab Al Muhalla (3/161): “Jika khatib memasukkan di dalam khutbahnya materi yang bukan zikir kepada Allah ta’ala dan bukan pula doa yang diperintahkan, maka berbicara pada saat itu adalah mubah (diperbolehkan).”
Demikianlah penjelasan ringkas dalam masalah ini yang kami sarikan dari kitab Kitabush Sholah min Bulughil Maram karya Syaikh Muhammad bin Hizam hafizhahullah ta’ala dan sumber-sumber lainnya. Wallahu a’lam bish showab.
وبالله التوفيق