Pages

Senin, 23 Desember 2013

Siapakah Mahram Kita?

بسم الله الرحمن الرحيم

Masih banyak di antara kita yang tidak mengetahui siapa yang menjadi mahram bagi dirinya, padahal pengetahuan tentang siapa yang menjadi mahram kita sangatlah penting karena berkaitan dengan banyak permasalahan agama. Ia bukan hanya berkaitan dengan masalah larangan untuk menikahi mahram, tetapi juga berkaitan dengan berbagai permasalahan lainnya, seperti larangan untuk bercampur dengan lawan jenis yang bukan mahram, larangan untuk bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram, larangan untuk membuka aurat di hadapan lawan jenis yang bukan mahram, wajibnya bepergian jauh dengan pengawalan mahram, dan lain sebagainya.

Untuk itu, kami mencoba untuk menyampaikan di sini mengenai siapa saja yang menjadi mahram bagi seseorang. Nantinya penyebutan mahram di sini, didasarkan pada mahram bagi seorang laki-laki. Adapun mahram bagi seorang wanita, maka cukup dianalogikan saja keadaannya. Contohnya jika dikatakan bahwa mahram seorang laki-laki adalah ibunya, maka berarti mahram seorang wanita adalah ayahnya. Demikian seterusnya.

Hubungan mahram secara umum terbagi kepada dua bagian, yaitu mahram yang berlaku selamanya dan mahram yang berlaku sementara. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

A. Hubungan Mahram yang Berlaku Selamanya.

Hal yang dapat menyebabkan terjadinya hubungan mahram untuk selamanya ada tiga, yaitu: kerabat keluarga (qarabah), pernikahan (mushaharah), dan penyusuan (radhah’ah). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Hubungan mahram karena hubungan keluarga (qarabah).

Mahram yang disebabkan karena hubungan keluarga ada tiga jenis, yaitu:

a. Leluhur (ushul) seseorang ataupun keturunannya (furu’).

Leluhur seseorang yang dimaksud di sini adalah ibunya yang telah melahirkannya, neneknya -baik nenek dari ibunya ataupun nenek dari ayahnya-, dan seterusnya ke atas.

Adapun keturunannya (furu’) adalah anak perempuannya, anak perempuan dari anak perempuannya (cucu), anak perempuan dari anak laki-lakinya (cucu), dan seterusnya ke bawah.

b. Keturunan dari kedua orang tuanya.

Maksudnya adalah saudara perempuannya dari segala sisi, baik saudara perempuan kandung, saudara perempuan satu ayah, ataupun saudara perempuan satu ibu. Begitu pula halnya dengan anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuannya tersebut (keponakan) dan seterusnya ke bawah.

c. Keturunan (furu’) dari kakek dan neneknya.

Maksudnya adalah saudara perempuan ayahnya (‘ammah/bibi dari pihak ayah) dan saudara perempuan dari ibunya (khalah/bibi dari pihak ibu), baik mereka itu saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, ataupun saudara perempuan seibu.

2. Hubungan mahram karena pernikahan (mushaharah).

Mahram yang disebabkan karena hubungan pernikahan ada tiga jenis, yaitu:

a. Keturunan (furu’) dari istrinya yang telah dia setubuhi.

Seseorang tidak boleh menikahi anak perempuan bawaan istrinya dari suami sebelumnya (anak tiri perempuan), baik yang berada di bawah asuhannya langsung ataupun tidak. Begitu pula halnya dengan anak perempuan dari anak tiri perempuannya, cucu perempuan dari anak anak tiri perempuannya, dan seterusnya ke bawah. Alasannya adalah karena kedudukannya adalah seperti kedudukan anak baginya.

Adapun jika dia menikahi wanita itu tetapi belum sempat disetubuhi lalu diceraikan, maka anak tiri perempuannya tersebut boleh dia nikahi setelah itu.

b. Leluhur (ushul) dari istrinya.

Seseorang tidak boleh menikahi ibu istrinya (ibu mertua), ibu dari ibunya, dan seterusnya ke atas cukup meskipun istrinya itu belum sempat disetubuhi sebelum diceraikan. Sebabnya adalah karena ia seperti ibu baginya.

Dalam dua keadaan di atas, ada sebuah kaidah terkenal yang berbunyi:

العقد على البنات يحرم الأمهات والدخول بالأمهات يحرم البنات

“Akad terhadap si anak perempuan menyebabkan hubungan mahram dengan ibunya. Sedangkan bersetubuh dengan si ibu menyebabkan hubungan mahram dengan anak perempuannya.”

c. Istri dari ayah.

Seseorang tidak boleh menikahi wanita yang telah dinikahi oleh ayahnya, baik yang sudah disetubuhi ataupun belum, karena ia seperti kedudukan ibu baginya dan sebagai bentuk penghormatan kepada ayahnya.

d. Istri dari anak (menantu).

Seseorang tidak boleh menikahi wanita yang telah dijadikan sebagai istri oleh anaknya, baik yang sudah pernah disetubuhi atau belum, karena ia seperti kedudukan anak baginya.

3. Hubungan mahram karena susuan (radha’ah).

Adanya susuan dari seorang wanita terhadap seseorang yang bukan anaknya menyebabkan terjadinya hubungan mahram antara si anak yang disusui dengan si ibu susuannya, begitu pula halnya dengan keluarga si ibu susuan tersebut. Karena yang menjadi mahram bagi seseorang dari pihak ibu susuan adalah sama dengan yang menjadi mahram karena hubungan nasab keluarga asli orang tersebut.

Contohnya: saudara perempuan sesusuan adalah mahram bagi seorang laki-laki, sebagaimana haramnya dia dengan saudara perempuan kandungnya.

B. Hubungan Mahram yang Berlaku Sementara.

Hal yang dapat menyebabkan terjadinya hubungan mahram untuk sementara adalah sebagai berikut:

1. Adanya hubungan mahram di antara dua wanita yang akan dinikahi.

Seseorang tidak boleh menggabungkan antara dua wanita yang saling memiliki hubungan mahram di antara mereka di dalam pernikahan, seperti menikahi kakak dan adik, ibu dan anak perempuannya, bibi (dari pihak ayah atau ibu) dengan keponakan perempuannya, dan lain sebagainya.

Apabila salah satu dari keduanya telah diceraikan atau meninggal, maka boleh bagi lelaki tersebut untuk menikahi saudarinya, atau ibunya (dengan syarat belum disetubuhi), atau bibinya, atau si keponakan.

2. Adanya ikatan perbudakan.

Seorang lelaki tidak boleh menikah dengan budak wanitanya dan tidak boleh pula bagi seorang wanita untuk menikah dengan budak lelakinya. Apabila si budak sudah dimerdekakan, maka boleh bagi mereka untuk menikah.

3. Menganut agama syirik.

Seorang lelaki muslim tidak boleh menikah dengan seorang wanita yang memeluk agama syirik, seperti Hindu, Budha, Shinto, Paganisme, Atheisme, dll. Adapun jika wanita itu memeluk agama Yahudi atau Nasrani, maka diperbolehkan untuk menikahinya.

Apabila wanita itu meninggalkan agama syiriknya tersebut dan beralih ke agama Islam, Yahudi, atau Nasrani, maka boleh bagi lelaki tersebut untuk menikahinya.

4. Wanita yang telah ditalak tiga.

Seseorang tidak boleh menikah lagi dengan istrinya yang telah ditalak sebanyak tiga kali. Dia baru boleh menikah lagi dengannya jika wanita itu menikah lagi dengan lelaki yang lain, lalu diceraikan oleh suaminya yang kedua tadi.

5. Terhalang dengan status pernikahan atau ‘iddah istri yang lain.

Seorang lelaki tidak boleh menikahi seorang wanita jika dia telah memiliki empat istri. Jika dia tetap ingin menikahi wanita itu, maka dia harus menceraikan salah satu istrinya dan menunggu sampai selesai iddahnya. Setelah itu, barulah dia boleh menikahi wanita tadi.

Demikianlah penjelasan ringkas mengenai mahram yang kami sadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Al Fiqhu ‘alal Madzahibil Arba’ah karya Abdurrahman Al Jaziri. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

والحمد لله رب العالمين