Pages

Senin, 12 November 2012

Seputar Masalah Aqiqah (Bagian Pertama)

بسم الله الرحمن الرحيم

Aqiqah adalah salah satu ibadah penyembelihan hewan yang disyariatkan di dalam Islam dalam rangka menyambut kelahiran seorang bayi. Pada kesempatan ini kami akan menurunkan tulisan seputar masalah aqiqah yang insya Allah akan kami bagi ke dalam dua bagian agar tidak terlalu panjang dan tidak memberatkan bagi para pembaca.

Hukum Aqiqah

Jumhur (mayoritas) ulama fiqh menyatakan bahwa hukum aqiqah ini adalah mustahab (sunat). Dalil yang menunjukkan atas disyariatkannya aqiqah adalah hadits Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم السابع ويحلق رأسه ويسمى

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, dilakukan penyembelihan untuknya pada hari ketujuh (dari hari kelahirannya), dicukur rambutnya, dan diberikan nama.” [HR Abu Daud (2838) dan Ibnu Majah (3165). Hadits shahih]

Adapun dalil yang memalingkannya dari hukum wajib kepada hukum mustahab adalah hadits ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

من ولد له ولد فأحب أن ينسك عنه فلينسك عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة

“Barangsiapa yang anaknya lahir lalu dia ingin menyembelih (aqiqah) untuknya maka hendaknya dia menyembelih dua kambing yang serupa sifatnya untuk anak lelaki dan seekor kambing untuk anak perempuan.” [HR Abu Daud (2842). Hadits hasan.]

Hadits di atas menunjukkan bahwasanya apabila yang lahir adalah anak lelaki maka jumlah kambing yang disembelih adalah dua ekor dan memiliki sifat yang sama atau mirip, sedangkan bila yang lahir adalah anak perempuan maka yang disembelih adalah satu ekor kambing saja.

Bagaimanakah Jika Tidak Mampu Menyembelih Dua Ekor Kambing?

Yang lebih utama adalah menyembelih dua ekor kambing untuk anak lelaki. Namun, jika orang tua tidak mampu menyembelih dua ekor kambing maka dia diperbolehkan untuk menyembelih seekor kambing saja.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” [QS At Taghabun: 16]

Dalam sebuah hadits disebutkan:

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apabila saya melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah ia dan apabila saya memerintahkan kepada kalian suatu perkara maka lakukanlah semampu kalian.” [HR Al Bukhari (7288) dan Muslim (1337) dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu.]

Ini adalah pendapat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu sebagaimana tersebut di dalam kitab Al Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih. Wallahu a’lam.

Kapan Waktu yang Disyariatkan untuk Aqiqah?

Berdasarkan hadits ‘Amr bin Syu’aib di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa aqiqah itu dilakukan pada hari ketujuh dari hari kelahiran. Bila tidak mampu pada hari ketujuh maka dilakukan pada hari keempat belas. Bila tidak mampu juga maka pada hari kedua puluh satu. Mereka berdalil dengan hadits Buraidah bin Hashib radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

العقيقة تذبح لسبع ولأربع عشرة وللإحدى وعشرين

“Aqiqah itu dilakukan pada hari ketujuh, hari keempat belas, dan kedua puluh satu.” [HR Al Baihaqi (9/303). Hadits shahih]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tampaknya penentuan (hari) tersebut hukumnya adalah mustahab. Jika dia menyembelih pada hari keempat, kedelapan, kesepuluh, atau setelahnya hukumnya adalah sah karena yang menjadi patokan adalah penyembelihannya, bukan hari memasaknya atau memakannya.” Demikian dari kitab Tuhfatul Maudud hal. 63.

Bersambung ke bagian kedua. Silakan membacanya di sini.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Fathul ‘Allam Syarhu Bulughil Maram karya Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ba’dani hafizhahullahu ta’ala.