بسم الله الرحمن الرحيم
Salah satu jenis zakat yang disyariatkan di dalam Islam adalah zakat terhadap hasil pertanian. Berikut ini akan kami sampaikan secara ringkas mengenai beberapa hal mendasar yang berkaitan dengan ketentuan zakat pertanian.
Jenis Hasil Pertanian yang Wajib Dizakati
Zakat pertanian berlaku pada bahan pangan yang dapat disimpan dalam waktu yang lama, baik itu dari jenis biji-bijian dan buah-buahan yang dapat bertahan lama.
Contoh biji-bijian adalah biji gandum, beras, dan sejenisnya. Contoh buah-buahan adalah kurma, anggur kering (kismis), kacang-kacangan, dan sejenisnya.
Berdasarkan keterangan ini, maka sayur-sayuran tidak termasuk ke dalam jenis hasil pertanian wajib zakat. Begitu pula dengan buah-buahan yang tidak dapat disimpan lama, maka tidak terkena zakat. Ini adalah pendapat Asy Syafi’i, Malik, dan Ahmad dengan adanya sedikit perbedaan.
Ketentuan Haul dan Nishab
Dalam hal haul dan nishab, ada perbedaan antara zakat pertanian dengan zakat harta. Pada zakat pertanian, tidak dikenal adanya perhitungan haul (tahun). Zakat pertanian harus dikeluarkan setiap kali selesai panen berdasarkan firman Allah ta’ala:
كُلُوا
مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila ia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin).” [QS Al An’am: 141]
Adapun besarnya nishab minimal yang harus terpenuhi adalah lima awsuq. Jika satu wisq setara dengan 60 sha’ dan satu sha’ adalah 2,5 kg, maka 5 awsuq adalah setara dengan 750 kg. Inilah besaran nishab atau batas minimal yang harus terpenuhi sehingga bisa terkena zakat. Perhitungan baru berlaku setelah hasil panen dibersihkan dan telah kering agar bisa didapatkan berat yang asli.
Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ
صَدَقَةٌ
“(Hasil panen) yang berjumlah kurang dari lima awsuq tidak ada padanya zakat.” [HR Al Bukhari (1447) dan Muslim (979)]
Ukuran Zakat Pertanian
Besar zakat pertanian yang harus dikeluarkan telah dijelaskan di dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma dari Nabi صلى الله عليه وسلم :
فِيمَا سَقَتْ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ
كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ
“(Lahan pertanian) yang diberi minum oleh langit (hujan) dan mata air ataupun tanah yang subur, maka (zakatnya) sepersepuluh. (Lahan pertanian) yang diberi minum oleh unta pengangkut air, maka (zakatnya) seperdua puluh.” [HR Al Bukhari (1483)]
Di dalam hadits di atas diterangkan bahwa ada dua jenis zakat pertanian menurut jenis pengairan lahan.
1. Jika lahan pertanian bisa mendapatkan air dengan mudah dari air hujan, sungai, mata air, ataupun saluran irigasi, maka besaran zakatnya adalah sepersepuluh atau sepuluh persen dari hasil panen.
2. Adapun jika pengairan lahannya harus dilakukan dengan bantuan mesin pompa air atau harus diangkut dengan kendaraan atau hewan, maka besaran zakatnya hanya seperdua puluh atau lima persen dari hasil panen.
3. Jika lahan tersebut dialiri dengan kedua metode di atas dalam jangka waktu yang sama lamanya, maka besaran zakatnya adalah tiga perempat puluh atau tujuh setengah persen dari hasil panen.
4. Jika lahan tersebut dialiri dengan kedua metode di atas (nomor satu dan dua) dengan jangka waktu yang berbeda, maka besaran zakatnya mengikuti metode pengairan mana yang lebih lama digunakan.
Dua nomor terakhir di atas adalah pendapat dari Ibnu Qudamah di dalam kitab Al Mughni (4/166) dan didukung oleh Syaikh Al ‘Utsaimin di dalam kitab Syarhul Mumti’ (6/83). Wallahu a’lam.
والحمد
لله رب العالمين
Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Syarh Bulughil Maram karya Syaikh Muhammad bin Hizam hafizhahullah.